-->
Type Here to Get Search Results !

Mengulik Tantangan Pers di Era Digital yang Semakin Besar

Tanggal 9 Februari telah menjadi hari besar untuk memperingati salah satu keberadaan industri yang berperan penting dalam memberikan informasi untuk masyarakat di tanah air, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu Hari Pers Nasional (HPN).

Sedikit kilas balik, meski sudah diinisiasi peringatannya sejak tahun 1978, namun momen peringatan yang bertujuan untuk menjadi ajang penyatuan pemikiran demi kemajuan pers di tanah air ini baru diperingati secara resmi pada tahun 1985.

Memiliki makna cakupan yang luas, pers didefinisikan sebagai lembaga sosial atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi (6M) baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, data, grafik maupun bentuk lainnya menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia, termasuk di antaranya berbagai platform yang terbentuk atas dasar semakin berkembangnya teknologi dan zaman.

Namun, tanggung jawab dari insan pers tentu tidak sesederhana sebagai lembaga sosial yang menyediakan sekaligus menyebarluaskan informasi atau berita. Kenyataannya, ada tanggung jawab besar yang dipikul terutama dalam hal mencerdaskan masyarakat dengan berbagai informasi yang diolah oleh industri ini.

Tidak semata-mata hanya memberikan informasi secara sederhana, keberadaan pers memiliki makna dan tanggung jawab yang lebih besar, satu yang paling penting di antaranya adalah tanggung jawab edukatif dan fungsi moral.

Hal tersebut sejak lama sejatinya telah nampak dengan jelas, karena berbagai informasi yang dihasilkan dari industri pers melalui proses jurnalistik berperan besar dalam melakukan pencerahan bagi kehidupan masyarakat, dan membangun kehidupan bangsa.

Secara sadar atau tidak, selama ini masyarakat membutuhkan informasi dari industri pers untuk menentukan kehidupannya lewat keputusan sederhana yang diambil sehari-hari. Berangkat dari kondisi itu pula, pers berperan besar sebagai media pendidikan karena memuat berbagai aspek penting yang dibutuhkan dalam kehidupan bernegara, mulai dari ekonomi, sosial, politik, budaya, dan masih banyak lagi.

Karena itu, tidak semua lembaga atau kelompok yang menyebarluaskan informasi ke hadapan publik dapat disebut sebagai bagian dari industri pers. Karena kenyataannya, untuk bisa menyajikan berbagai informasi yang akan diserap oleh masyarakat, ada prosedur dan tahapan tertentu agar informasi tersebut berkualitas dan semakin membangun karakteristik masyarakat.

Seluruh proses pengolahan informasi yang dilakukan oleh industri pers memiliki aturan dan ketentuan sendiri, terutama dalam melakukan prosedur 6M. Belum lagi, semua prosedur tersebut diwajibkan berjalan di bawah ketentuan kode etik jurnalistik.

Lantas bagaimana dengan kondisi saat ini, di mana semua kebutuhan informasi nyatanya sudah bisa ditemukan dengan mudah lewat berbagai platform digital seperti media sosial, bahkan yang sumbernya bukan berasal dari lembaga atau kelompok pers sekalipun?.

Tantangan pers di era digital yang semakin bertambah.

Era digital dengan segala kemajuan teknologi yang ditawarkan nyatanya memang memberikan dampak positif, terutama jika melihat dari sisi publikasi, distribusi, dan kemudahan mendapatkan informasi atau berita yang bisa tersampaikan secara lebih luas kepada masyarakat.

Namun tak dimungkiri pula jika hal tersebut memiliki sisi lain yang juga mendatangkan dampak negatif dan tantangan lebih besar bagi para pelaku di industri pers itu sendiri. Sebelum adanya kemudahan serta kemajuan yang ditawarkan dari era digital, harus diakui bahwa industri pers sendiri sudah memiliki beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam menjalankan perannya.

Hal tersebut disampaikan oleh Ilham Bintang, wartawan senior sekaligus Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Mengutip BisnisNews, Ilham mengungkap jika sejatinya ada lima tantangan besar yang dihadapi dari industri pers saat ini, yaitu pemerintah, preman, pemilik modal, profesi, dan buzzer.

Dari lima tantangan yang dimaksud, dapat dikatakan jika dua di antaranya menjadi bagian yang cukup menyita perhatian dan kerap menjadi permasalahan besar hingga saat ini, yaitu profesi dan buzzer.

Menurutnya, permasalahan profesi muncul dari segi pelaku industri pers atau lebih umum dipandang sebagai wartawan dan jurnalis itu sendiri, yang pada beberapa kasus tidak profesional dalam menjalankan kerja-kerja jurnalisme.

Lebih jauh, Ilham juga menyoroti mengenai keberadaan buzzer yang dalam cakupan luas tidak hanya memberikan tekanan dan gangguan untuk melemahkan peran pers, namun dewasa ini kerap memanfaatkan berbagai platform digital termasuk media sosial, untuk menyebarluaskan berbagai informasi yang dapat menggiring opini masyarakat ke arah yang tidak seharusnya.

Berangkat dari hal tersebut, dan kembali kepada pemahaman bahwa tugas dari pers adalah memberikan pencerahan karena didasari tanggung jawab edukatif kepada masyarakat, para pelaku di industri ini harus memberikan pemahaman dan fakta informasi yang sebenarnya secara lebih ekstra.

Hal tersebut bahkan ditegaskan oleh Johnny G. Plate, selaku Menteri Kominfo yang menyuarakan jika pers harus memiliki fungsi korektif dalam berbagai informasi yang disuguhkan kepada masyarakat oleh sejumlah pihak.

“Peran strategis pers akan tetap relevan dari masa ke masa. Bahkan di era digital sekarang pers senantiasa menjalankan fungsi yang sangat kritis, fungsi korektif mewujudkan kehidupan masyarakat, kehidupan bangsa, kehidupan negara yang lebih inklusif, yang lebih demokratis, dan tentu yang lebih visioner untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan kita,” ujar Johnny.

Lain itu, pers juga dinilai memiliki peran penting dalam dalam menyajikan informasi dan konten yang dapat menjaga humanisme masyarakat di tengah berbagai perkembangan informasi yang ada.

“Tidak sekadar melaporkan informasi, tetapi lebih kepada memberikan daya analisis yang kritis dan berimbang, memperluas pemikiran, serta menjaga humanisme masyarakat,” tandasnya.
Baca Juga