-->
Type Here to Get Search Results !

Eksekusi Laham PT PSJ Desa Gondai Pelalawan, MA Nyatakan Tidak Sah

PEKANBARU (AktualBersuara.Com) - Usaha ratusan warga Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan untuk melawan eksekusi 3.323 Hektare lahan oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau dan usai dieksekusi lahan tersebut diserahkan ke PT Nusa Wana Raya (NWR) membuahkan hasil. Pasalnya, Mahkamah Agung menyatakan surat perintah tugas nomor 096/PPLHK/082 tanggal 10 Januari 2020 untuk pengamanan atau eksekusi lahan sawit batal atau tidak sah. 

Putusan Nomor 595 K.TUN/2020 itu sudah disampaikan Mahkamah Agung ke Pengadilan Tata Usaha Negara Pekanbaru (PTUN). Amar putusan tersebut sudah disampaikan panitera ke penggugat dan tergugat. 

Dalam putusan itu tertulis penggugat adalah PT Peputra Supra Jaya (PSJ). Perusahaan ini mewakili sejumlah koperasi yang didalamnya ada ratusan warga melawan eksekusi yang dilakukan oleh DLHK (tergugat). 

Panitera PTUN Pekanbaru, Agustin saat ditemui wartawan membenarkan putusan tersebut. Dirinya menyebut telah menyampaikan putusan kepada tergugat dan penggugat.

"Yang saya sampaikan adalah amar putusan, selanjutnya para pihak yang mengajukan salinan lengkapnya,"ujarnya, Kamis (18/03/21).

Dikatakam Agustin, penggugat telah mengajukan surat permohonan eksekusi terhadap putusan tersebut. Selanjutnya kedua belah pihak akan dipanggil kalau hakim sudah mengeluarkan surat eksekusi putusan.

"Nanti hakim membacakan, apakah eksekusi itu sudah dilaksanakan atau belum,"terang Agustin.

Dari petikan putusan yang diterima wartawan, Ketua Majelis Hakim di Mahkamah Agung Dr Irfan Fachruddin membatalkan putusan PTUN Tinggi Medan yang menguatkan putusan PTUN Pekanbaru. 

"Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi PT PSJ," ungkap Irfan dalam petikan putusan itu.

Petikan amar putusan MA ini juga menyatakan surat dinas untuk eksekusi lahan batal atau tidak sah. Kemudian mewajibkan DLHK mencabut surat tersebut. 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan lahan seluas 3.323 hektare itu harus diuji keabsahan perizinan dari kedua pihak dan kepemilikan di pengadilan secara perdata. 

Selanjutnya, pengalihan kawasan hutan menjadi non hutan harus mengajukan perizinan baru.

Sebagai informasi, eksekusi oleh DLHK Riau dengan menebang sawit milik warga dan PT PSJ berlangsung sejak awal tahun lalu. Penebangan itu mendapat perlawanan dari ratusan warga karena menggantungkan hidup dari sawit bekerjasama dengan PT PSJ. 

Tak jarang, perlawanan itu berujung bentrokan antara warga dan polisi yang mengawal jalannya eksekusi. Beberapa warga juga mengalami luka dan ada pula yang ditangkap karena dituduh provokator.

Bahkan warga juga membangun tenda-tenda di lokasi sebagai bentuk perlawanan. Tapi, tenda itu roboh setelah aparat dan alat berat milik dinas meratakan sawit dengan tanah.

Penebangan sawit itu sempat berhenti setelah sejumlah anggota DPR ataupun DPRD Riau turun ke lokasi. Penghentian eksekusi hanya beberapa bulan dan berlanjut, bahkan sampai tahun 2021.

Eksekusi lahan awal tahun ini juga tak jarang berujung bentrok. Untuk meredam aksi perlawanan ini, aparat menangkap sejumlah orang yang dinilai sebagai provokator.

Terpisah, Pengamat Hukum Universitas Muhammadiyah Riau, R Desril SH MH mengatakan salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri setempat. Ini bertujuan untuk membuktikan siapa yang berhak sebagai pemilik atas objek yang diperselisihkan tersebut.

"Gugatan Perdata ke Pengadilan Negeri merupakan wujud dari Hukum acara perdata yaitu peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya 

menjamin pelaksanaan hukum perdata materil," terangnya.

"Untuk lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara 

perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya atas suatu objek yang diperselisihkan," tambah akademisi sekaligus Wakil Dekan FH UMRI yang sedang menempuh pendidikan Doctor di UNJA itu.

Menurutnya lagi, untuk melakukan tindakan hukum atas suatu objek haruslah melalui proses hukum yang benar. Ketika hak kepemilikan suatu objek yang diperselisihkan atau dipersengketakan belum mendapatkan keputusan yang sah secara keperdataan, maka atas objek yang diperselisihkan tersebut tidak dibenarkan pihak-pihak melakukan eksekusi dan atau kliam kepemilikan sebelum adanya keputusan peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde.

"Intinya tidak bisa dieksekusi menebang sawit yang lagi produktif tanpa adanya putusan perdata dan kalau memang itu terjadi bisa ada pidana dan perdatanya pidana penyalahgunaan wewenang dan perdata. Bahkan pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan untuk minta ganti rugi," terangnya.

Sedangkan, Kuasa Hukum PT PSJ Asep Ruhiyat belum memberikan keterangan secara rinci terkait hal ini. Diketahui Ia tengah menjalani Sidang Di PN Jakarta Selatan.**
Baca Juga